”Pada saat gue baru mau membuka topik lagi
dengan Farida, tiba-tiba dia bilang ‘Kita gak bisa ngeliat Mardilah lagi di
sini’. Kenapa ? kata gue “
Nama gue Ardian.
Tahun 2011 ini adalah tahun gue masuk sekolah. Dengan harus melewati
banyak masalah, akhirnya gue bisa juga melanjutkan sekolah ke tingkat SMA.
Keterbatasan ekonomi orang tua gue membuat gue sempat terhenti 3 bulan setelah
gue lulus SMP. Sampai akhirnya setelah gue lulus SMP dan belum sempat mendaftar
ke SMA, gue bekerja di warnet yang di miliki oleh Bapak Abdurrahman selaku Kepala Sekolah gue. Setelah gue bekerja, gue bilang ke emak gue supaya beliau mau melanjutkan pedidikan gue dan
gue bilang gue akan ikut bantuin buat biaya sekolah gue karena gue udah bekerja
di Warnet.
Karena gue menjadi anak baru di sekolah, akhirnya gue selamat dari kegiatan
OSIS “Masa Orientasi Siswa”. Tapi tentunya, gue menjadi bulan-bulanan Guru
Bahasa Inggris gue yang sekaligus beliau menjabat sebagai Pembina Osis.
Sebagian guru dan teman-teman ada yang gue kenal, karena para guru yang
mengajar gue di SMA adalah Guru gue waktu di SMP. Iya, gue sekolah di Lembaga Yayasan
Pendidikan yang sama, yang di dalamnya ada Pesantren dan jenjang SMP sampai SMA.
Kelas X ( 10 ) di bagi menjadi dua kelas, kelas X1 dan kelas X2, Gue masuk
di kelas X2 sesuai arahan Pengurus Siswa Baru. Di kelas ini gue duduk paling
belakang bersama Hendri teman gue yang tangannya jago banget menggambar “Grafiti”
namun selama 15 tahun dia hidup, tangan dia gak bisa menulis “Bismillah” dengan Bahasa Arab. Sungguh
jari yang di rindukan nyala api.
Didepan gue ada Imam teman main gue di rumah dan di sekolah. Dia hobi
futsal, dia juga jago pelajaran Bahasa Jepang tetapi kurang menguasai Bahasa
Inggris. Dia pernah gue SMS pakek Bahasa Inggris, tetapi malah dia ngambek ke
gue dan gue baca balesan sms dari dia “JANGAN
SOMBONG, DI” lalu gue tertawa geli membacanya karena gue memang sengaja
bikin dia jengkel. Ternyata pengakuan dia ke gue bahwa dia itu Tempramental sangat asli.
Setiap jam istirahat, sebagian anak perempuan kelas X1 selalu masuk ke kelas
gue buat becanda dengan teman satu asrama pesantren mereka yang ada di kelas
gue. Terkadang ada teman lelaki, yang juga dia santri, ikut nimbrung di circle
perempuan. Dia adalah Maisul, mempunyai perawakan tinggi. Tapi gue sangat
prihatin sama mulut dia yang “Cablak”.
Karena kalau dia tertawa, terus teman-teman gue Hendri, Imam, dan Rizal melihat
dia. Itu selalu membuat kita tertawa. Kami bukan tertawa melihat dia tertawa,
tetapi karena kami berharap ada “Laler” yang
masuk ke rahang dia.
Di Circle wanita itu ada Febi, Shintiya, Umi dan anak X1 Farida, Dede,
dan Mardilah. Dari ke tiga anak kelas X1 ini, ada dua yang bikin gue penasaran.
Farida dan Mardilah. Setiap jam belajar di kelas gue berlangsung, ketika mereka
lewat dari jendela, entah Farida atau Mardilah, selalu memperhatikan gue,
meihat gue. Terkadang gue lihat balik lalu gue kembali ke pelajaran, tetapi
terkadang gue memandang kembali mereka, seolah gue pengen tau, siapa yang
paling kuat saat kita saling pandang.
Dari moment pandang-pandangan itu gue jadi tertarik sama Mardilah. By
the way, saat itu gue belum mengenal mereka. Jadi gue tahu nama mereka dari teman-temannya
yang memanggil mereka dan terdengar di telinga gue. Mardilah sewaktu memandang
gue dan gue memandang balik, dia tersenyum ke gue, gue juga sama. Seolah kita
sama-sama “Apaan sih liat-liat”.
Jujur aja, Mardilah dan Farida itu cantik buat gue. Mardilah pandai menjaga sikap, dia selalu bikin gue penasaran, ini anak kenapa si, di liatin dia senyum, tetapi pas lagi berpapasan sok cuek banget, begitulah sikap dia yang membuat gue lebih ke Mardilah.
Kalau Farida, dia itu terlalu kebaca sikap ketertarikannya
sama gue. Kenapa gue bisa menyimpulkan Farida tertarik atau suka sama gue,
karena dia selalu menanyakan ke sukaan gue, nanya
pelajaran ke gue, pokoknya dia ingin tau ke pribadian gue kayak gimana. Dan
dialog itu terjadi ketika gue memberikan hape gue saat dia meminjam untuk
menghubungi orangtuanya. Santri kan gak boleh membawa hape.
Dari alasan Farida meminjam hape gue, gue jadi sering berdua di depan
kelas bersama dia. Tetapi gue juga gak perduli bila ada teman-teman gue yang ngecengin gue pas saat gue berdua sama
dia. Di dalem hati gue, gue menginginkan ada moment gue bisa berdua sama
Mardilah. Tapi gue bingung harus dengan apa agar bisa ada sebab gue bisa berdua
sama dia.
Selama gue berduaan, Farida terus bertanya kepada gue tentang pelajaran
Qur’an dan Hadits yang dia juga membawa buku LKS yang dia punya. Kalau gue bisa
dan mengerti, gue kasih penjelasan ke dia. Saat gue menjelaskan, tiba-tiba ada
suara terdengar di telinga gue “ Farida lagi apa ?”. Gue langsung melirik
sebentar ke arah suara itu, saat itu gue melihat wanita membawa seperangkat
buku, cantik, dan suaranya yang lembut. Hati gue gak karuan, Mardilah ada di
samping Farida.
Lantas gue pura-pura sibuk melihat huruf-huruf yang ada di buku LKS
Farida yang gue pegang sedangkan Farida mengobrol dengan Mardilah.
Kriiiing, hape Nokia tipe 1208 gue berdering, gue lihat ternyata
ada nomor gak gue kenal menelpon gue. Insting gue pasti ini keluarga Farida,
karena beberapa kali di setiap gue di sekolah, nomor ini selalu menelpon, lalu
gue serahkan ke Farida. Farida pun mengangkat, dan malah menjauh dari gue dan membuat gue menjadi berdua sama
Mardilah.
Deg-degan hati gue, mulai muncul keringat di wajah gue, waaah ada apa dengan diri gue ? Kenapa di saat yang gue inginkan tetapi malah gue bingung begini ?. Gue coba tarik nafas dalam-dalam mengatur ritme hati gue yang bergejolak sedikit Ambyar werkewer. Ketika sudah sedikit tenang, dalam saling diam itu gue coba memulai obrolan perkenalan sama Mardilah, yaa walaupun gue udah tau nama dia, siapa tau dia belum tau nama gue.
Pertama-tama gue basa-basi, lalu kenalin nama gue, setelah itu tanya nama
dia, Ah gampang ini mah. Gue coba buka obrolan memakai bahasa ala anak santri.
“ Hmm ana liat anti berduaan terus sama Farida, kalian sahabatan yak. “ Gue ngomong begitu dia cuma jawab
“ Iyak “
“ Hmm Ana Ardian, Nama Ana Siapa ? “
“ HAH “ Dia pun kaget, dan “ HAAADDUUHH ARDIAAAN, GUUOOOBBLOOOOKK “
memekik hati gue.
“ enggak enggak, maksud gue nama lu siapa “ udahlah biasa aja gue bahasanya. Seru hati
gue.
“ Ana Mardilah, panggil aja Dilah “.
“ Oh, Lu Nyantren ?”.
“ Iyak “.
“ Kenapa gak nyantren aja ? “ Tanya gue menyesatkan.
“ Kalau begitu jaraknya jauh “. dia mengirakan.
“ Emang rumah lu dimana ? “. Penasaran gue tentang tempat tinggal dia.
“ Jatake, Tangerang “. Singkat dia.
“ Oh, iyaa jauh juga sih, bisa-bisa lu berangkat ke sekolah 1 jam dari sana sebelum jam masuk “. Panjang gue.
Akhirnya gue bisa berkenalan langsung sama dia, gue seneng banget, dan
gue gak mau ini berlansung sebentar. Kalau bisa suatu saat ketika gue berdua
sama dia di jam istirahat, gue sabotase bell sekolah biar petugasnya sulit
membunyikan bell tanda jam masuk kelas.
Saat itu gue berhasil mengendalikan “salah tingkah” gue, hingga gue bisa
gampang cari-cari topik obrolan sama dia. Selama mengobrol sama dia, kadang gue
curi-curi pandang saat dia berbicara. Saat gue membuat candaan dan membuat dia
tertawa, gue melayang ketika dia tertawa, renyah banget ketawanya. “Ohh Yaa Allah, Hamba pengen nikah. Gapapa
hamba masih berumur 15 tahun juga, yang penting hamba bisa sama dia ini
bidadari X1”. Dalam kenikmatan menghayal itu, akhirnya terpecahkan ketika Farida
yang sudah selesai menelpon lalu menghampiri gue lagi. Aaaahh elaaah ada-ada saja.
Dalam 6 hari gue sekolah, mungkin 2 atau 3 kali gue bisa berduaan sama dia. Setiap gue di depan kelas sendirian baca buku dan lalu dia keluar dari kelasnya, gue udah berani panggil dia dan kita mengobrol kembali. Gue sama dia selalu menanyakan “kemana ?” apabila salah satu diantara kita gak masuk sekolah.
Yaa Allah gue semakin nyaman, dan gue merasa di perhatikan. Gue dan
dia semakin akrab, dia udah tau kepribadian gue, dan gue udah tau kepribadian
dia.
Keseringan berduaan terus di depan kelas sama dia, ternyata membuat
teman-teman gue mulai ngecengin gue, “ciyee
ciyee Ardian”. Melihat mulai adanya kesadaran teman-teman gue tentang hal ini,
akhirnya gue kendalikan pertemuan gue sama dia supaya jarang-jarang, karena gue
takut dia yang santri ini mendapat teguran dari Ustadzah apabila ada kabar
tercium oleh Ustadzah tentang berduaannya kami ini.
2 bulan gue jalani itu yang setiap bulannya berdua hanya 2 kali, itu
juga sebentar. Pertemuan yang sebentar itu membuat gue mulai merindukan dia,
gue kangen berduaan lama sama dia, gue berencana mengajak dia pergi berliburan keluar lingkungan sekolah setelah UAS buat mengobati rasa kangen gue.
Sebelum UAS menjelang kenaikan kelas di tahun 2012, gue udah jarang melihat
dia pada saat jam masuk kelas ataupun pulang sekolah. Biasanya Farida melintas
di depan kelas gue berdua Mardilah, sekarang dia cuma sendirian atau berdua, dan itu
pun bukan sama Mardilah.
Gue bertanya-tanya dia kemana. Setiap gue ada di dalam kelas, lalu ada
anak cewek X1 melintas di depan kelas gue, gue selalu memperhatikan, berharap
yang gue lihat itu Bidadari X1 yang pernah gue hayalkan dengan siapa gue
menikah. Tapi lagi-lagi bukan Mardilah yang gue lihat.
Sudah lebih dari 10 hari waktu sekolah gue gak melihat dia lagi. Apakah
dia Sakit ? kalau dia sakit kenapa gak ada Osis yang keliling menggalang dana untuk
dia yang biasanya di lakukan ketika ada yang sakit terlalu lama. Tapi mungkin itu sudah mereka lakukan saat gue lagi gak ada di kelas atau lagi gak masuk sekolah. Yaa tetap lah gue kepikiran
banget, Yaa Allah kemana dia ?.
Gue mulai cari-cari Informasi tentang dia, tentunya dengan cara agar enggak secara langsung mencari informasi tentang dia. Itu supaya enggak ada prasangka-prasangka teman gue yang ngecap gue suka sama dia.
Farida, nama itu muncul di benak gue karena yang dekat dengan Dilah adalah Farida. Gue akan tanyakan itu ketika di situasi dia pinjam hape gue. Ketika tiba saatnya, gue mulai basa-basi ke Farida.
“Elu koq kayaknya setiap gue perhatiin sekarang sendirian terus masuk
kelas atau jam pulang sekolah, biasanya kan berdua sama temen lu itu si Dilah ?
lu lagi marahan ya sama dia ?”
“Oh enggak kok” dia jawab dengan wajah yang sedikit menutupi rasa sedih.
“Terus ?“
“Yaa gue enggak marahan sama dia, kita masih biasa aja kok”
“Hmmm“ gue bergeming.
Lama kita terdiam, gue sibuk melamun, dia sibuk membalas SMS dari
orangtuanya. Pada saat gue baru mau membuka topik lagi dengan Farida, tiba-tiba
dia bilang
“Kita gak bisa ngeliat Dilah lagi di sini”
“Kenapa” tanya gue
“dia udah pulang sejak ada kabar bahwa Ayahnya meninggal dan sampai sekarang
enggak kembali lagi kesini”
Dari informasi itu jujur membuat hati gue sesak. Teringat kata Farida
yang “gak bisa ngeliat dia lagi” membuat gue semakin sesak. Gue berusaha tetap
normal di hadapan Farida dan gue lanjutkan obrolan dengan mencari topik yang
lain.
Ada hal yang gue sesali sampai sekarang gue menulis cerita ini di bulan Juni 2023. Kenapa ketika dulu gue lagi ngobrol sama dia dan gue gak menanyakan alamat detail rumah dia. Kalaulah dulu gue tau alamat rumah dia, mungkin sampai sekarang gue masih tau kabar dia. Terkadang gue masih mencari akun-akun yang bernama Mardilah di sosmed seperti Facebook dan Instagram. Ternyata muncul nama yang gue cari, tetapi banyak yang bernama Mardilah. Gue klik Profil setiap namanya, tetapi gak ada satupun insting gue merasakan bahwa nama-nama itu adalah nama Bidadari X1 yang pernah gue dambakan.
Komentar
Posting Komentar